Senin, 11 Juni 2012

Budidaya Gaharu, Satu Pohon Hasilkan Puluhan Juta



            Mahalnya harga jual getah dan pohon gaharu saat ini membuat banyak petani Kotabaru mulai tertarik untuk mengembangkan dan membudidayakan pohon gaharu. Selain memiliki harga ekonomis yang tinggi, pohon gaharu juga dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun.
            Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Karena itu sebenarnya warga memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9 sampai 10 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu.
            Sementara harga getah gaharu mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
            Salah seorang petani Kotabaru yang sudah mengembangkan pohon gaharu ini adalah Miran, warga Desa Langkang, Kecamatan Pulau Laut Timur. Menurutnya, untuk menanam pohon gaharu dan menghasilkan banyak getah diperlukan perawatan khusus.
            Saat pohon gaharu berumur sekitar 5-8 tahun, pohon yang tumbuh seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan obat pemuncul getah. Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300 ribu. Miran mengaku, ia sudah menjual sekitar 50 batang pohon gaharu yang masih berumur sekitar 1-3 tahun dengan nilai Rp19 juta. Ia juga telah menanam 500 batang pohon gaharu dengan umur satu tahun lebih dan tinggi sekitar 50 cm.
            Karena memiliki sifat tumbuh yang tidak jauh beda dengan tanaman hutan lainnya, setiap hektar lahan dapat ditanam sekitar 500 pohon gaharu dengan jarak tanam sekitar 3-4 kali 6 meter. Bibit pohon gaharu tersebut ia peroleh dari Samarinda, Kalimantan Timur, yang sebelumnya dikembangkan dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Harga bibit dari Rp7.500 sampai Rp10.000 per pohon.
            Untuk pemasaran tidak perlu repot, karena banyak pembeli yang siap mendatangi mereka yang memiliki getah gaharu. Pengusaha transportasi itu juga berharap usaha yang ia rintis dapat diikuti masyarakat dan petani lain di Kotabaru. Apalagi bila mengingat masih banyak lahan tidur dibiarkan terbengkalai mubazir.
            “Jika lahan tidur di wilayah kita dikembangkan dengan menanam gaharu, maka 10-15 tahun kemudian akan menghasilkan uang ratusan juta,” terang Miran. Sebelumnya, Miran sudah mencoba beberapa tanaman kebun, namun hasilnya tidak seperti menanam pohon gaharu. Dalam satu pohon usia dewasa dapat menghasilkan uang puluhan juta rupiah,
            Selain Miran banyak petani lain di Desa Betung, Langkang Lama, Langkang Baru, Gunung Ulin dan Sebelimbingan yang mulai mengembangkan kayu yang biasa diambil getahnya untuk bahan minyak dan bahan obat-obatan tersebut.(Narullah)
            Gaharu yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan
agarwood, eaglewood, dan aloeswood telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar
industri parfum, obat-obatan, dan setanggi atau dupa. Banyaknya manfaat gaharu ini
telah menjadikannya sebagai salah satu komoditi ekspor penting di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Permintaan ekspor dan harga gubal gaharu yang cukup tinggi telah
memacu pesatnya perburuan dan penebangan pohon secara liar, sehingga eksploitasi
hutan menjadi tidak terkendali. Akibatnya sumber genetik species Aquilaria sebagai
penghasil gaharu di hutan alam semakin terkikis . Bahkan sejak tahun 1995 Aquilaria
malaccensis telah dikategorikan sebagai tanaman terancam punah dalam apendix II
CITES (Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora ), sehingga perdagangannya di dunia diatur dan dibatasi oleh kuota.
Untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen gubal gaharu terbesar
dalam perdagangan internasional, harus diupayakan produksi gubal gaharu secara
berkelanjutan. SEAMEO BIOTROP telah melakukan berbagai upaya untuk
melestarikan dan meningkatkan produksi gaharu melalui berbagai penelitian sejak tahun
1997. Untuk mengatasi masalah kelangkaan pohon induk sebagai sumber benih,
aplikasi teknik kultur jaringan untuk pengadaan bibit gaharu telah dipelajari. Seleksi
pohon gaharu juga telah dilakukan untuk mendapatkan sumber bibit yang berpotensi
menghasilkan gubal gaharu. Seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan pohon gaharu
merespons kehadiran cendawan Acremonium dengan membentuk metabolit sekunder
beraroma khas gaharu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan
dan aplikasinya sangat berpeluang untuk dijadikan alternatif teknik perbanyakan untuk
menghasilkan bibit gaharu yang berpotensi. Selain itu, salah satu isolat cendawan
Acremonium yang telah dikoleksi dan dipelajari melalui penelitian ini, berpotensi untuk
dijadikan agens penginduksi gubal gaharu untuk pengembangan bank klon gaharu
potensial dan produksi gubal gaharu secara komersial.

Manfaat Gaharu
            Gaharu adalah kayu wangi yang sudah diresapi resin yang dijumpai pada pohon Aquilaria lebih dikenal dengan agarwood, eaglewood, dan aloeswood, banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar industri parfum, obat-obatan (asma, liver, ginjal, radang lambung, usus, rhematik, tumor dan kanker), dan juga karena aroma wanginya, gaharu banyak dibuat parfum, setanggi atau dupa.

            Pohon penghasil gaharu ada 18 jenis berasal dari suku Tymelaeaceae , dan 3 jenis lainnya, yakni Excocaria agalocha L. dan Dalbergia parviflora Roxb. Berasal dari suku Euphorbiaceae dan Fabaceae, dan Aloexylon agallocum Loureuio, anggota suku Leguminoceae . Dari 15 jenis pohon gaharu dari suku Tymelaeaceae , terdiri dari 7 jenis dari marga Aquilaria, 3 jenis dari marga Wikstroemia, 2 jenis dari marga Gonytyllus dan 1 jenis masing-masing dari marga Gyrinops , Aetoxylon dan Enkleia.( Airy Show, 1948; Ding Hou, 1960. 1964; Yule Burnell,2000; Wiryadinata, 1995).
            Banyaknya manfaat gaharu ini telah menjadikannya sebagai salah satu komoditi ekspor penting di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Permintaan ekspor dan harga gubal gaharu yang cukup tinggi telah memacu pesatnya perburuan dan penebangan pohon secara liar, sehingga eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali. Akibatnya sumber genetik species Aquilaria sebagai penghasil gaharu di hutan alam semakin terkikis . Bahkan sejak tahun 1995 Aquilaria malaccensis telah dikategorikan sebagai tanaman terancam punah dalam apendix II CITES (Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ), sehingga perdagangannya di dunia diatur dan dibatasi oleh kuota. Untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen gubal gaharu terbesar dalam perdagangan internasional, harus diupayakan produksi gubal gaharu secara berkelanjutan.(Seameo-Biotrop)

Kultur Jaringan untuk Pengadaan Bibit Gaharu
            Untuk mengatasi masalah kelangkaan pohon induk sebagai sumber benih, aplikasi teknik kultur jaringan untuk pengadaan bibit gaharu juga telah banyak dipelajari dan dilakukan. Seleksi pohon gaharu dilakukan untuk mendapatkan sumber bibit yang berpotensi menghasilkan gubal gaharu, merupakan substansi aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena, dimana substansi ini memiliki struktur kimia yang sangat spesifik sehingga sampai saat ini belum dapat dibuat secara sintesis
            Seleksi juga dilakukan dilakukan berdasarkan kemampuan pohon gaharu merespons kehadiran cendawan Acremonium dengan membentuk metabolit sekunder beraroma khas gaharu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan dan aplikasinya sangat berpeluang untuk dijadikan alternatif teknik perbanyakan untuk menghasilkan bibit gaharu yang berpotensi. Selain itu, salah satu isolat cendawan Acremonium yang telah dikoleksi dan dipelajari melalui penelitian ini, berpotensi untuk dijadikan agens penginduksi gubal gaharu untuk pengembangan bank klon gaharu potensial dan produksi gubal gaharu secara komersial. (Isnaini, Yupi;Situmorang, Jonner, 2005)
            Esha Flora pun mengadakan penelitian dan menerima jasa kultur jaringan untuk pengadaan bibit pohon penghasil gaharu dan beberapa pohon kehutanan lainnya seperti kultur jaringan Gaharu, kultur jaringan Jati, kultur jaringan Jelutung, kultur jaringan Sengon, kultur jaringan Mahoni dan lain-lain, berikut ini adalah foto kultur jaringan nya:

1 komentar:

Info Lainnya