Mahalnya harga jual getah dan pohon
gaharu saat ini membuat banyak petani Kotabaru mulai tertarik untuk
mengembangkan dan membudidayakan pohon gaharu. Selain memiliki harga ekonomis
yang tinggi, pohon gaharu juga dapat tumbuh di kawasan hutan tropis.
Pengembangan pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal orang. Hanya
orang-orang tertentu saja yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini.
Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat
kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun.
Selain dapat tumbuh di kawasan hutan,
pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Karena itu sebenarnya warga
memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi
ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa
tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9 sampai 10
tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu.
Sementara harga getah gaharu
mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas
getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna
kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang
berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
Salah seorang petani Kotabaru yang
sudah mengembangkan pohon gaharu ini adalah Miran, warga Desa Langkang,
Kecamatan Pulau Laut Timur. Menurutnya, untuk menanam pohon gaharu dan
menghasilkan banyak getah diperlukan perawatan khusus.
Saat pohon gaharu berumur sekitar
5-8 tahun, pohon yang tumbuh seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan
obat pemuncul getah. Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300
ribu. Miran mengaku, ia sudah menjual sekitar 50 batang pohon gaharu yang masih
berumur sekitar 1-3 tahun dengan nilai Rp19 juta. Ia juga telah menanam 500
batang pohon gaharu dengan umur satu tahun lebih dan tinggi sekitar 50 cm.
Karena memiliki sifat tumbuh yang
tidak jauh beda dengan tanaman hutan lainnya, setiap hektar lahan dapat ditanam
sekitar 500 pohon gaharu dengan jarak tanam sekitar 3-4 kali 6 meter. Bibit
pohon gaharu tersebut ia peroleh dari Samarinda, Kalimantan Timur, yang
sebelumnya dikembangkan dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Harga bibit dari
Rp7.500 sampai Rp10.000 per pohon.
Untuk pemasaran tidak perlu repot,
karena banyak pembeli yang siap mendatangi mereka yang memiliki getah gaharu.
Pengusaha transportasi itu juga berharap usaha yang ia rintis dapat diikuti
masyarakat dan petani lain di Kotabaru. Apalagi bila mengingat masih banyak
lahan tidur dibiarkan terbengkalai mubazir.
“Jika lahan tidur di wilayah kita
dikembangkan dengan menanam gaharu, maka 10-15 tahun kemudian akan menghasilkan
uang ratusan juta,” terang Miran. Sebelumnya, Miran sudah mencoba beberapa
tanaman kebun, namun hasilnya tidak seperti menanam pohon gaharu. Dalam satu
pohon usia dewasa dapat menghasilkan uang puluhan juta rupiah,
Selain Miran banyak petani lain di
Desa Betung, Langkang Lama, Langkang Baru, Gunung Ulin dan Sebelimbingan yang
mulai mengembangkan kayu yang biasa diambil getahnya untuk bahan minyak dan
bahan obat-obatan tersebut.(Narullah)
Gaharu yang dalam perdagangan internasional dikenal
dengan sebutan
agarwood, eaglewood, dan aloeswood telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar
industri parfum, obat-obatan, dan setanggi atau dupa. Banyaknya manfaat gaharu ini
telah menjadikannya sebagai salah satu komoditi ekspor penting di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Permintaan ekspor dan harga gubal gaharu yang cukup tinggi telah
memacu pesatnya perburuan dan penebangan pohon secara liar, sehingga eksploitasi
hutan menjadi tidak terkendali. Akibatnya sumber genetik species Aquilaria sebagai
penghasil gaharu di hutan alam semakin terkikis . Bahkan sejak tahun 1995 Aquilaria
malaccensis telah dikategorikan sebagai tanaman terancam punah dalam apendix II
CITES (Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora ), sehingga perdagangannya di dunia diatur dan dibatasi oleh kuota.
Untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen gubal gaharu terbesar
dalam perdagangan internasional, harus diupayakan produksi gubal gaharu secara
berkelanjutan. SEAMEO BIOTROP telah melakukan berbagai upaya untuk
melestarikan dan meningkatkan produksi gaharu melalui berbagai penelitian sejak tahun
1997. Untuk mengatasi masalah kelangkaan pohon induk sebagai sumber benih,
aplikasi teknik kultur jaringan untuk pengadaan bibit gaharu telah dipelajari. Seleksi
pohon gaharu juga telah dilakukan untuk mendapatkan sumber bibit yang berpotensi
menghasilkan gubal gaharu. Seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan pohon gaharu
merespons kehadiran cendawan Acremonium dengan membentuk metabolit sekunder
beraroma khas gaharu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan
dan aplikasinya sangat berpeluang untuk dijadikan alternatif teknik perbanyakan untuk
menghasilkan bibit gaharu yang berpotensi. Selain itu, salah satu isolat cendawan
Acremonium yang telah dikoleksi dan dipelajari melalui penelitian ini, berpotensi untuk
dijadikan agens penginduksi gubal gaharu untuk pengembangan bank klon gaharu
potensial dan produksi gubal gaharu secara komersial.
agarwood, eaglewood, dan aloeswood telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar
industri parfum, obat-obatan, dan setanggi atau dupa. Banyaknya manfaat gaharu ini
telah menjadikannya sebagai salah satu komoditi ekspor penting di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Permintaan ekspor dan harga gubal gaharu yang cukup tinggi telah
memacu pesatnya perburuan dan penebangan pohon secara liar, sehingga eksploitasi
hutan menjadi tidak terkendali. Akibatnya sumber genetik species Aquilaria sebagai
penghasil gaharu di hutan alam semakin terkikis . Bahkan sejak tahun 1995 Aquilaria
malaccensis telah dikategorikan sebagai tanaman terancam punah dalam apendix II
CITES (Convension on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora ), sehingga perdagangannya di dunia diatur dan dibatasi oleh kuota.
Untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen gubal gaharu terbesar
dalam perdagangan internasional, harus diupayakan produksi gubal gaharu secara
berkelanjutan. SEAMEO BIOTROP telah melakukan berbagai upaya untuk
melestarikan dan meningkatkan produksi gaharu melalui berbagai penelitian sejak tahun
1997. Untuk mengatasi masalah kelangkaan pohon induk sebagai sumber benih,
aplikasi teknik kultur jaringan untuk pengadaan bibit gaharu telah dipelajari. Seleksi
pohon gaharu juga telah dilakukan untuk mendapatkan sumber bibit yang berpotensi
menghasilkan gubal gaharu. Seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan pohon gaharu
merespons kehadiran cendawan Acremonium dengan membentuk metabolit sekunder
beraroma khas gaharu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan
dan aplikasinya sangat berpeluang untuk dijadikan alternatif teknik perbanyakan untuk
menghasilkan bibit gaharu yang berpotensi. Selain itu, salah satu isolat cendawan
Acremonium yang telah dikoleksi dan dipelajari melalui penelitian ini, berpotensi untuk
dijadikan agens penginduksi gubal gaharu untuk pengembangan bank klon gaharu
potensial dan produksi gubal gaharu secara komersial.
Manfaat
Gaharu
Gaharu
adalah kayu wangi yang sudah diresapi resin yang dijumpai pada pohon Aquilaria
lebih dikenal dengan agarwood, eaglewood, dan aloeswood, banyak dimanfaatkan
sebagai bahan dasar industri parfum, obat-obatan (asma, liver, ginjal, radang
lambung, usus, rhematik, tumor dan kanker), dan juga karena aroma wanginya,
gaharu banyak dibuat parfum, setanggi atau dupa.
Pohon penghasil gaharu ada 18 jenis berasal dari suku Tymelaeaceae , dan 3 jenis lainnya, yakni Excocaria agalocha L. dan Dalbergia parviflora Roxb. Berasal dari suku Euphorbiaceae dan Fabaceae, dan Aloexylon agallocum Loureuio, anggota suku Leguminoceae . Dari 15 jenis pohon gaharu dari suku Tymelaeaceae , terdiri dari 7 jenis dari marga Aquilaria, 3 jenis dari marga Wikstroemia, 2 jenis dari marga Gonytyllus dan 1 jenis masing-masing dari marga Gyrinops , Aetoxylon dan Enkleia.( Airy Show, 1948; Ding Hou, 1960. 1964; Yule Burnell,2000; Wiryadinata, 1995).
Pohon penghasil gaharu ada 18 jenis berasal dari suku Tymelaeaceae , dan 3 jenis lainnya, yakni Excocaria agalocha L. dan Dalbergia parviflora Roxb. Berasal dari suku Euphorbiaceae dan Fabaceae, dan Aloexylon agallocum Loureuio, anggota suku Leguminoceae . Dari 15 jenis pohon gaharu dari suku Tymelaeaceae , terdiri dari 7 jenis dari marga Aquilaria, 3 jenis dari marga Wikstroemia, 2 jenis dari marga Gonytyllus dan 1 jenis masing-masing dari marga Gyrinops , Aetoxylon dan Enkleia.( Airy Show, 1948; Ding Hou, 1960. 1964; Yule Burnell,2000; Wiryadinata, 1995).
Banyaknya
manfaat gaharu ini telah menjadikannya sebagai salah satu komoditi ekspor
penting di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Permintaan ekspor dan harga gubal
gaharu yang cukup tinggi telah memacu pesatnya perburuan dan penebangan pohon
secara liar, sehingga eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali. Akibatnya
sumber genetik species Aquilaria sebagai penghasil gaharu di hutan alam semakin
terkikis . Bahkan sejak tahun 1995 Aquilaria malaccensis telah dikategorikan
sebagai tanaman terancam punah dalam apendix II CITES (Convension on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ), sehingga
perdagangannya di dunia diatur dan dibatasi oleh kuota. Untuk mempertahankan
posisi Indonesia sebagai produsen gubal gaharu terbesar dalam perdagangan internasional,
harus diupayakan produksi gubal gaharu secara berkelanjutan.(Seameo-Biotrop)
Kultur Jaringan untuk Pengadaan Bibit Gaharu
Untuk
mengatasi masalah kelangkaan pohon induk sebagai sumber benih, aplikasi teknik
kultur jaringan untuk pengadaan bibit gaharu juga telah banyak dipelajari dan
dilakukan. Seleksi pohon gaharu dilakukan untuk mendapatkan sumber bibit yang
berpotensi menghasilkan gubal gaharu, merupakan substansi
aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai
coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tertentu.
Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam
golongan sesquiterpena, dimana substansi ini memiliki struktur kimia yang
sangat spesifik sehingga sampai saat ini belum dapat dibuat secara sintesis
Seleksi
juga dilakukan dilakukan berdasarkan kemampuan pohon gaharu merespons kehadiran
cendawan Acremonium dengan membentuk metabolit sekunder beraroma khas
gaharu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik kultur jaringan dan
aplikasinya sangat berpeluang untuk dijadikan alternatif teknik perbanyakan
untuk menghasilkan bibit gaharu yang berpotensi. Selain itu, salah satu isolat
cendawan Acremonium yang telah dikoleksi dan dipelajari melalui
penelitian ini, berpotensi untuk dijadikan agens penginduksi gubal gaharu
untuk pengembangan bank klon gaharu potensial dan produksi gubal gaharu
secara komersial. (Isnaini, Yupi;Situmorang, Jonner, 2005)
Esha
Flora pun mengadakan penelitian dan menerima jasa kultur jaringan untuk
pengadaan bibit pohon penghasil gaharu dan beberapa pohon kehutanan lainnya
seperti kultur jaringan Gaharu, kultur jaringan Jati, kultur jaringan Jelutung,
kultur jaringan Sengon, kultur jaringan Mahoni dan lain-lain, berikut ini
adalah foto kultur jaringan nya:
Budidaya Kayu Gaharu Asli memang sangat menjanjjikan
BalasHapus